Dualitas Doa ?

Kamis, 05 Februari 2015



Di hari-hari kuliah akhir semester tua ini yang semakin terasa hawa kemalasan, dan berakibat pada aktifitas kuliah hanya dijalani sebagai ritual bodong tanpa kekhusukan. Jam kuliah pun belum berakhir dan dosen pun belum menunjukkan tanda-tanda untuk mengakhiri perkuliahan, saya pun berinisiatif untuk ijin keluar kelas untuk pergi ketoilet, padahal saya mau ke kantin, hehehe. Sesudah bersusah payah menghindari rintangan yang ada, akhirnya saya pun meluncur ke tujuan, haha, cangkruk di kantin. Tak berselang lama setelah saya memesan minuman buah KW3 alias marimas dan beberapa jenis gorengan, beberapa teman karib pun menyapa menghampiri dan bergabung dalam aktifitas cangkruan. Beberapa perbincangan informal pun berjalan apa adanya seperti biasa, seperti topik sehari-hari, masalah politik, bahkan sampai masalah vulgarpun sampai diperbincangkan disini. Saya lebih menyukai perbincangan perbincangan khas cangkruk seperti ini dari pada duduk seperti patung tak berdaya di dalam kelas perkuliahan, saya lebih merasa dihargai sebagai manusia ketika saya belajar dari setiap perbincangan di warung-warung, tidak ada epistemologi yang membatasi, tidak ada metodologi yang paling benar sendiri, tidak ada positivisme yang menghakimi, tidak ada struktur yang menyatakan lebih pintar, lebih senior, bla, bla, pokoknya tidak ada omong kosong menurut saya. Semua terasa egaliter dan bebas, bagi saya ilmu pengetahuan itu pembebasan.

Tak beselang lama ocehan kami mebicarakan perihal hujan yang akhir-ini (pada saat itu) mem PHP orang-orang Surabaya. Hawa terik panas yang menjadi hawa rutin dikota ini telah menjadikan hujan sebagai harapan hidup dan mati orang surabaya (lebay coy! hahah). perbincangan pun mengarah pada harapan untuk segera turun hujan supaya hawa di kota pahlawan ini sedikit lebih sejuk. Tak berselang salah satu teman kami dalam forum cangruan pun menyela, “jangan! Jangan! hujan jemuranku masih belum saya angkat, terus kalapun pulang nanti pastipun saya kehujanan dan basah kuyup, terus besok saya kuliah pakai baju apa ??” (pastilah dengan bahasa jawa dan sedikit aksen surabaya hehe) “pokoknya saya tidak setuju kalau hujan” kata teman saya. Teman saya tersebut pun berharap disertai doa untuk tidak turun hujan. Di lain sisi banyak diantara kita yang menginginkan dan berdoa untuk turun huhan. Doa manakah yang akan dikabulkan ?? saya pun tidak tahu, makanya saya juga bertanya sesuai judul saya, hehehe. Ini seperti ambivalensi dan dialektika yang sangat naif, mengapa saya bilang naif, semuanya benar, punya alasan utilitas masing-masing. Saya tidak punya hak untuk membela salah satu pihak, hanya ego manusia yang membuat jurang pemisah perbedaan terjadi, adai  saja saya memihak salah satu, memihak ingin hujan misalnya, karena kos saya panas sehingga saya mengotot kepada teman saya bahwa nanti akan hujan, dan mengatakan doa teman saya yang tidak ingin hujan, tidak akan terjadi. Apa hak saya untuk semena-mena mengatakan doa teman saya tidak akan terjadi ? atas dasar apa ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar